Selepas lulus SMA, saya berkuliah di sebuah universitas dengan sistem belajar jarak jauh, Universitas Terbuka. Itu adalah saran orangtua, dengan harapan saya bisa tetap intens berlatih untuk membuat kondisi kaki saya lebih baik, sambil kuliah di rumah.
Awalnya, saya mengambil jurusan Sastra Inggris Penerjemahan. Kemudian, saat masuk semester dua, saya mengambil satu jurusan lagi, yakni Perpustakaan. Menjalani kuliah dengan dua jurusan memang tidak mudah. Awalnya saya merasa sangat berat, dan sempat menyesal karena telah mengambil dua jurusan. Saya sempat berada di titik jenuh. Saat itu, saya berusaha mengatasinya dengan menulis, membaca, mendengarkan musik, nonton film, bahkan nge-game. Kadang juga bertukar kabar dengan kawan-kawan lama.
Namun, lambat laun saya mulai bisa menikmatinya; kegiatan belajar yang hanya tiga bulan, hanya ada sekali ujian akhir, juga tak adanya teman dan dosen untuk mengatasi kesulitan. Apalagi setelah pada 2014, saya bisa menjalani PKP (Praktik Kerja Perpustakaan) selama sebulan di Perpustakaan Proklamator Bung Karno. Wah, senang sekali rasanya, berada di lingkungan baru, bertemu orang-orang baru, juga mempunyai kegiatan dan pengalaman yang baru.
Pada 2011, saya menerima sebuah tawaran untuk nyambi ngadmin di toko besi milik nenek saya. Toko itu dikelola oleh paman saya dan istrinya, dan berada di sebelah rumah saya. Mekanisme ngadmin itu sebenarnya hanya mengelompokkan kasbon-kasbon pembeli berdasarkan namanya. Biasanya, yang ngebon itu adalah para langganan yang memang biasa berbelanja di toko itu. Saya pun boleh mengerjakannya di rumah, karena memang dibutuhkan tempat yang luas untuk mengerjakannya. Ya, sebenarnya sesederhana itu.
Mulanya, saya mencoba beradaptasi dan menikmati kegiatan baru ini. Tapi lama-kelamaan, saya mulai menyadari bahwa ritme kerja di sini tidak di-manage dengan baik. Tak ada jadwal kerja yang jelas untuk saya. Sewaktu-waktu, setumpuk kasbon bisa datang ke rumah saya, dan harus diselesaikan secepat mungkin. Beberapa kali saya pernah agak terlambat menyelesaikannya, karena harus membagi waktu dengan belajar dan melakukan kegiatan lain.
Hal itu menimbulkan rasa tidak puas dari bibi saya—yang mengontrol kinerja saya—meski sejak awal saya sudah menjelaskan padanya bahwa saya juga harus membagi waktu untuk belajar. Namun, dia tak pernah mengungkapkan keluhannya secara langsung pada saya. Dia selalu mengutarakan semua pada nenek saya dan suaminya. Bagi saya, sikap seperti itu kurang tepat. Semestinya, dia bisa mengevaluasi dan membicarakan keluhannya langsung pada saya. Saya pun mencoba bicara dengannya tentang hal ini, tapi dia malah berkata bahwa kinerja saya baik-baik saja.
Tapi kemudian, hal seperti itu terulang lagi. Saya pun sempat diminta bekerja di rumahnya saja. Namun itu tak berlangsung lama. Saya malah merasa tak bisa mengerjakannya dengan maksimal.
Di situlah kejenuhan mulai mendera saya. Saya bosan dengan pekerjaan itu, juga dengan manajemen dan komunikasi yang kurang baik. Saya ingin keluar. Ingin berganti pekerjaan lain. Bukannya saya tak mensyukurinya. Saya cukup senang dengan pekerjaan ini, karena darinya saya bisa punya penghasilan sendiri, meski tidak banyak. Tapi saya tetap ingin keluar. Ingin mencari suasana dan tantangan baru.
Namun, beberapa pihak termasuk orangtua saya, menyarankan agar saya bertahan dulu dalam pekerjaan ini. Saya pun kembali menjalaninya, hingga sekarang. Namun, sebenarnya rasa jenuh itu tetap ada. Saya benar-benar ingin mencari peluang kerja yang lain. Saya jenuh di sini.
Meski baru-baru ini saya mendapat kabar, bahwa sistem kerja yang tadinya manual akan diubah ke komputerisasi, tapi saya merasa tak sanggup lagi. Saya sungguh sedang berada di titik jenuh. Saya ingin berganti pekerjaan secepatnya. Tapi di mana, dan dalam bidang apa, itu yang masih membingungkan benak saya. Dan alangkah senangnya, jika saya bisa bekerja sesuai dengan minat saya, menulis. (*)
*Sebuah catatan kejenuhan
8 Januari 2016
Adinda R.D Kinasih
0 Komentar