Sejak awal menyukai dunia menulis pada kelas dua MTs, saya memang cenderung menulis cerpen dan novel bertema remaja dengan segala kesehariannya. Kehidupan sekolah, persahabatan, keluarga, juga cinta yang dialami para remaja. Mungkin ini karena mudah bagi saya—mengangkat kehidupan sekolah yang memang menjadi bagian dari hidup saya. Juga, pengaruh bahan bacaan saya pada saat itu, yang lebih didominasi teenlit. Bahkan saya sempat berlangganan majalah Story, yang khusus memuat cerpen dan novelet bertema remaja.
Selulusnya saya dari MAN, bahan bacaan saya semakin beragam. Saya banyak menemukan genre dan gaya bahasa dari beberapa penulis. Sebut saja, Andrea Hirata, Fahd Djibran, Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, Winna Efendi, Mira W, Boim Lebon, Iwan Setyawan, Achi TM, juga Raditya Dika. Saya pun sempat speechless saat membaca Jakarta Undercover karya Moammar Emka, juga Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi dalam versi ebook. Tak menyangka ceritanya seperti itu. Mengejutkan!
Selain itu, saya juga mulai membaca novel terjemahan, meski masih sangat sedikit. Hobbit, karya JRR Tolkien, dan Raffles: Further Adventures of The Amateur Cracksman karya EW Hornung adalah dua buku yang masih belum saya baca habis.
Saat ini, saya sedang membaca novel karya Dewi Lestari, Supernova. Tepatnya, membaca ulang kelima serinya, sebelum masuk pada seri terakhir, Inteligensi Embun Pagi. Ketika pertama kali membaca seri pertamanya, Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh beberapa waktu lalu, seketika saya dibuat takjub. Saya tidak menyangka, seorang Dewi Lestari yang awalnya dikenal sebagai penyanyi mampu membuat novel dengan tema, gaya bahasa, dan cara bercerita yang seperti itu. Begitu pula saat saya membaca Perahu Kertas, Rectoverso, dan Filosofi Kopi. Luar biasa. Mengagumkan!
♯
Ide awal cerpen Kopi-Kopi Kafka sebenarnya sangat sederhana. Awalnya saya hanya ingin mengisahkan seorang coffee-addict, yang gemar meminum berbagai jenis kopi di sela-sela waktu begadangnya. Mungkin karena saya sendiri termasuk penyuka kopi, meski tidak sampai menjadi coffee-addict. Maka, tertulislah cerpen itu sekitar tahun 2013. Tapi kemudian, cerpen itu berhenti di tengah jalan. Tiba-tiba saya mati ide, tak tahu lagi harus bagaimana mengembangkannya. Saya kesulitan menemukan sebab Kafka menjadi seorang coffee-addict.
Sekitar tahun 2015, saya diajak bergabung di FLP. Rencana pembuatan antologi cerpen pun dibahas, dan teringatlah saya pada Kopi-Kopi Kafka. Inilah kesempatan saya menyelesaikan cerpen itu. Namun, saya masih saja bingung mencari penyebabnya. Saya ingin mencari sebab yang “berbeda”, yang out of the box—setidaknya untuk ukuran saya.
Di tengah kebingungan itu, suatu hari paman saya yang bertandang ke rumah bercerita tentang saudara jauhnya—seorang wanita karir yang sukses, namun memilih untuk hidup sebagai lesbian. Saya pun sempat melihat fotonya, dia berambut pendek, dan berpenampilan tomboy. Padahal sebenarnya dia cantik.
Saat ini, dia sedang sakit. Dan saya dengar, dia berangsur-angsur kembali berpenampilan feminim.
Meski saya sangat jarang bertemu dan belum pernah mengobrol dengannya, saya ikut bersyukur juga dengan perubahannya itu. Semoga dia lekas sembuh.
Beberapa hari setelah itu, tepatnya saat rutinan FLP, Kak Fahri, sahabat saya sejak SMA, memberikan file cerpen barunya pada saya. Selain mengobrol, itulah kebiasaan kami sejak SMA—saling bertukar karya, untuk kemudian dibaca dan diberi saran dan kritik. Saat memberikan file itu, Kak Fahri sempat berkata, “Awas, hati-hati ya kalau baca itu. Nanti kaget.”
Saya hanya mengernyit heran dan kemudian tertawa. Dia pasti bercanda, pikir saya saat itu. Lagipula, kenapa harus berhati-hati? Dan, terkejut karena apa?
Tapi ternyata saya salah. Kak Fahri tidak bercanda. Cerpennya yang berjudul Sylira dan Kenangan Hujan itu berhasil mengejutkan saya. Saya tak menyangka Kak Fahri akan membuat kejutan seperti itu—bahwa tokoh aku dalam cerpen itu adalah seorang wanita, yang mengagumi (jatuh cinta) dengan Sylira, yang juga seorang wanita.
Cerita paman saya, juga cerpen Sylira dan Kenangan Hujan itu membawa ingatan saya pada kisah Kafka yang masih macet di tengah jalan. Sepertinya, saya sudah bisa menemukan sebab Kafka menjadi seorang coffee-addict. Meski awalnya saya agak ragu, tapi kemudian saya coba menyelesaikannya.
Kalau tak keliru, kisah Kafka berhasil saya selesaikan dalam waktu sebulan—itu pun setelah mempertimbangkan beberapa saran dari teman-teman FLP dan edit sana-sini. Dan saya yakin dengan ending ini. Saya pun mengajukan Kopi-Kopi Kafka sebagai cerpen yang akan saya masukkan dalam antologi cerpen perdana FLP Blitar.
Meski kemudian ada beberapa saran untuk mengubah ending Kopi-Kopi Kafka, saya tetap tidak melakukannya. Saya sendiri tak menyangka, saya bisa menyelesaikannya dengan akhir yang seperti itu. Sejauh ini, Kafka adalah cerpen paling out of the box yang pernah saya tulis, walaupun saya akui, akhir ceritanya masih menggantung, tak seperti ending cerpen Sylira yang sudah jelas—tokoh utamanya menikah dengan pria dan memiliki anak.
Jadi, jika ada yang bertanya pada saya, mengapa harus membuat ending Kopi-Kopi Kafka menjadi seperti itu, ada dua hal yang dapat saya jadikan sebagai jawaban.
Pertama; mencoba keluar dari genre saya selama ini, yaitu teenlit. Kedua; ingin mengangkat tema LGBT—yang sampai saat ini masih menjadi hal yang tabu dibicarakan bagi sebagian orang.
Mungkin nantinya, akhir cerpen itu akan menimbulkan kesan yang berbeda-beda pada setiap pembaca, termasuk kesan apakah cerpen itu menyiratkan pemakluman terhadap kaum gay. Semuanya akan saya kembalikan kepada pembaca. Yang jelas, alasan saya hanya ingin mengangkat tema LGBT, dan mencoba tema baru yang belum pernah saya tulis sebelumnya.
Akhirnya, saya berterimakasih untuk cerita singkat paman saya, juga cerpen Sylira dan Kenangan Hujan yang telah menginspirasi saya untuk menyelesaikan kisah Kafka. Dan pastinya tak ada hal lain yang saya rasakan saat ini selain bersyukur, karena Antologi Cerpen FLP Blitar, Jejak-Jejak Kota Kecil telah terbit, dan Kopi-Kopi Kafka menjadi bagian di dalamnya. (*)
September – Nopember 2016
Adinda RD Kinasih
0 Komentar