Kusadari, aku terlalu sombong
Hingga anggap segala yang telah kuperbuat cukup untuk membalas semua yang telah kau korbankan
Ku (tak) sadari, bahwa ternyata aku bisa sekejam ini
Memasang wajah masam sebagai jawaban setiap pintamu,
Perdengarkan gerutuan untuk menimpali nasihatmu
Mata dan hatiku tertutup kesal, selama ini
Hingga lupa pada siapa yang selalu mengantarku ke mana pun
Hingga enggan mengingat siapa yang hampir selalu kumintai tolong; bahkan untuk hal se-sederhana menggambar pemandangan, mencipta prakarya, bahkan membungkus kado sekali pun,
Melupa setiap piring nasi goreng, tahu goreng bersambal kecap, segelas kopi, juga apel dan pir yang telah bersih kulitnya untuk langsung kulahap
Juga melupa setiap derai tawa yang hampir selalu dibagi ketika larut malam,
Aku berpura tak kenal sejarah,
Bahwa bertahun lalu, kau bekerja dari pagi hingga bertemu pagi lagi, demi cukupnya kaleng-kaleng susuku
Bahkan hingga kini, tak jarang kau tanggalkan lelah, abaikan kantuk, itu juga untuk penuhi kebutuhanku
Aku tak pernah mau berkaca,
Bahwa mungkin tanpamu, anak seperti aku takkan bisa punya hidup sebaik ini.
Aku selalu terlambat menyadari, bahwa ada yang tersimpan di balik amarah dan nasihatmu,
Bahwa itu semua untuk kebaikanku.
Teruntuk lelaki yang mencintaiku pertama kali,
Semestinya aku tahu, bahwa segala yang kuperbuat tak pernah cukup untuk menandingi semua yang telah kau perjuangkan.
Bahkan mungkin, untaian kata-kata ini pun tak sanggup mengobati lara hatimu atas tingkah lakuku
Tapi, sungguh.
Maafkan aku.
Untuk semua kelupaanku akan engkau, dan segala yang telah kau lakukan demiku
31 Maret 2017,
Untuk Ayah,
Yang mencintaiku pertama kali, selalu, selamanya
0 Komentar