"Selalu aku ingin
Kembali aku ke sini
Ke Bandung kota yang terindah
Tempat kita berjanji..."
-Kahitna, Kembali ke Bandung
Sekitar setengah jam kemudian, Mas Daffa datang bersama mobil yang kami sewa. Jalanan di sekitar Stasiun Kiaracondong macet cukup parah hari itu. Namun, Mas Daffa tampak sudah lihai menghadapi situasi itu. Kami bisa melaluinya dalam waktu tak terlalu lama.
Perut kami mulai dililit lapar. Tetapi kendaraan masih mengular. Kami jadi bingung harus menjatuhkan pilihan pada warung yang mana. Mobil masih terus melaju, saat tiba-tiba mata kami tertuju pada sebuah plang nama restoran cepat saji. Mobil pun mengarah masuk ke sana. Tak apalah, daripada makin bingung dan lapar.
*
Mobil tancap gas lagi. Saya tak terlalu memperhatikan menuju arah mana. Sebab, mata saya telanjur fokus pada panorama Bandung di balik jendela. Masih sedikit tak percaya, akhirnya saya benar-benar sampai di Bandung hari ini.
*
Mobil tancap gas lagi. Saya tak terlalu memperhatikan menuju arah mana. Sebab, mata saya telanjur fokus pada panorama Bandung di balik jendela. Masih sedikit tak percaya, akhirnya saya benar-benar sampai di Bandung hari ini.
Kemudian, mobil berbelok ke gerbang sebuah kompleks perumahan. Pesona Bali View, namanya. Berada di kawasan Parongpong, Bandung Barat.
Berhenti sejenak di depan pos satpam, Mbak Savira menerima sebuah kunci. Lalu mobil melaju lagi. Beberapa saat kemudian, ia terparkir di depan sebuah rumah bergaya minimalis berlantai dua. Rupanya inilah tempat menginap kami hingga esok.
Rumah ini terdiri dari tiga kamar, dua di atas dan satu di bawah. Saya dan Almira kebagian kamar bawah. Sedangkan Mbak Savira, Levina, Mas Hilmy, dan Mas Dito di kamar atas. Mas Daffa lebih memilih tidur di sofa ruang tamu, sekalian menggarap tugas kuliah, katanya.
Kami segera bergantian membersihkan diri. Sekalian menunggu waktu Ashar. Setelah shalat dan semua siap, kami lekas meninggalkan penginapan. Hari ini ada dua destinasi wisata yang akan kami kunjungi.
*
Dusun Bambu Lembang
Wisata yang terdiri dari taman bunga dan rumah makan yang berhiaskan ornamen bambu ini terletak di kawasan Cisarua, Bandung Barat. Menghabiskan waktu sekitar 20 menit dari Parongpong, perjalanan kami terasa seru dengan jalanan menanjak dan hawa dingin nan sejuk.
Kami juga sempat melewati Pondok Pesantren Daarut Tauhid milik ulama ternama, KH Abdullah Gymnastiar.
Sampailah kami di Dusun Bambu Lembang. Di gerbang masuk, kami diajak naik mobil wisata sebentar. Berbentuk seperti mini van yang dimodifikasi sedemikian rupa, dan tanpa jendela.
Setelah itu, kami harus berjalan kaki. Ada semacam seni instalasi dari bambu yang terpasang di tengah pelataran.
Di salah satu sudut, nampak seorang lelaki tengah memainkan angklung. Di bagian lainnya, terhampar taman dengan bunga aneka rupa dan rerumputan hijau. Jalan-jalan setapak di sini ber-paving block, jadi cukup memudahkan saya saat berjalan.
Namun rupanya, kaki saya tak bisa berbohong. Ia mengeluh lelah, lewat rasa nyeri yang terasa dari pergelangan hingga telapak kaki. Saya memang sudah lama sekali tak berjalan jauh. Almira pun mencoba menyewakan sepeda wisata roda empat. Tapi sayang, sepeda itu tidak boleh dipakai mengelilingi seluruh area Dusun Bambu.
Mau tak mau, saya harus berjalan. Baiklah, tak apa. Udara di sini dingin dan sejuk. Saya lebih bisa mengakrabi cuaca seperti ini. Meski akhirnya saya tetap harus duduk melepas lelah.
Angka lima yang makin merapat di arloji menjadi pertanda kami harus segera beranjak dan melanjutkan perjalanan.
Orchid Forest Cikole
Dalam perjalanan, saya sempat bertukar pesan dengan Irsyad. Lelaki yang saya kenal sejak empat tahun lalu di FLP Blitar ini memang bekerja di Bandung. Dalam pesannya, Irsyad sempat menyebut sebuah destinasi wisata yang konon sedang hits di Bandung. Kami pun menuju ke sana.
Orchid Forest Cikole namanya. Berada di kawasan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Konsep tempat ini adalah hutan pinus dilengkapi dengan pusat budidaya Anggrek. Ada sekitar 517 jenis bunga anggrek di sini. Tempat ini juga dilengkapi sejumlah spot foto yang menarik, salah satunya jembatan yang dihiasi kerlap-kerlip lampu.
Usai memarkirkan mobil, kami memasuki tempat wisata tersebut. Sayangnya Mas Hilmy tak ikut. Dia lebih memilih tidur di mobil. Rupanya tubuhnya tengah diserang masuk angin.
Awalnya saya bisa menikmati pemandangan. Jalanan yang menurun cukup meringankan langkah saya. Namun, tatkala gelap mulai merambat, muncullah kawanan nyamuk dari berbagai penjuru. Lampu-lampu di sini memang remang-remang, jadi nyamuk pun tak terusir.
Saya dan yang lain mulai kewalahan. Apalagi kaki saya mulai terasa nyeri lagi. Maka, dengan tertatih-tatih, saya mencari tempat duduk. Untunglah ketemu. Jadilah, saya duduk sembari menunggu yang lain berfoto.
Kaki saya makin protes saat kami berjalan menuju pintu keluar. Ternyata, jarak dari tempat saya duduk menuju gerbang keluar itu cukup jauh. Apalagi jalanannya yang menanjak, semakin menyulitkan saya untuk melangkah. Tulang-tulang kaki saya serasa remuk. Lemas.
Tapi tak ada pilihan selain tetap berjalan dan berusaha untuk tidak jatuh. Saya pun dapat menarik napas lega saat mobil kami tiba di depan gerbang keluar. Ada Mas Hilmy di balik kemudi. Syukurlah, kondisinya sudah baikan.
*
Dalam perjalanan kembali ke penginapan, kami menyempatkan diri mampir ke sebuah toserba untuk membeli sejumlah bahan makanan. Rencananya, Mas Dito dan Mbak Savira akan memasak untuk makan malam. Kepulan asap dan aroma sedap mie kuah sudah terbayang di benak kami semua.
0 Komentar