Halo, Ruparasa. Apa kabar?
Maafkan saya, sudah terlalu lama tak menoreh cerita. Sesungguhnya lusinan ide menumpuk di kepala, namun entah apa yang terjadi pada jemari ini. Seakan sedang genggam beban berat, hingga tak mampu merangkai kata.
Ada beberapa hal yang terjadi pada sekian bulan belakangan. Kembalinya sebuah pertemuan. Tercapainya satu impian lawas. Hingga, akar keraguan yang akhirnya tumbuh menjadi satu cabang keberanian.
Ya. Tumbuhnya satu keberanian.
*
Kali ini, kisah si berani itu yang akan saya bagi. Entah dari mana awalnya saya menaruh minat di bidang ini. Namun, menurut dugaan pribadi, sepertinya Ayahlah yang secara tak langsung menurunkan talenta ini.
Di masa kecil, mendengarkan radio sudah menjadi kebiasaan buat saya. Bukan saja menanti lagu-lagu kesukaan diputar--saat itu yang paling sering saya dengar adalah lagu anak-anak karya Kak Ria Enes dan Susan, serta Kahitna, tapi juga untuk mendengarkan suara ayah saya.
Karena pada 1990 hingga 1996 silam, ayah sempat menjadi penyiar di dua stasiun radio di Malang bernama Puspita FM dan TT 77 yang masih menggunakan AM (modulasi amplitudo).
Ada beberapa program yang beliau bawakan saat itu. Dua diantaranya bertajuk Konci (Konsultasi Cinta) dan Tersuci (Terminal Surat Cinta). Banyak pendengar yang curhat tentang masalah asmara mereka, juga mengirim atensi untuk kemudian dibacakan oleh ayah.
Terbiasa mendengarkan siaran Ayah disertai aneka tembang, membuat saya jadi suka bernyanyi. Saya ingat, dulu saat di Playgroup, begitu beraninya saya menyanyikan sepenggal lagu Cerita Cinta karya Kahitna. Hai saya, yang kala itu masih balita, tahu apa kamu soal cinta? Hahaha...
*
Beberapa tahun kemudian, ketika sudah pindah ke Blitar, saya bergabung di sebuah tempat kursus vokal. Tepatnya sejak saya mulai masuk TK, hingga SD kelas lima atau enam. Entah seberapa merdu nyanyian saya kala itu. Namun, saya kerap diminta urun suara pada setiap acara perpisahan kelas enam.
Ketika berada di bangku SMP, dan sampai sekarang, saya sudah tak lagi mengikuti les vokal. Tapi kesukaan saya pada lagu-lagu dan nyanyian belum surut. Mendengarkan lagu, bisa dikatakan rutinitas saban hari. Jika ada waktu luang, terkadang saya menyanyikan ulang sejumlah lagu, dengan iringan instrumen dari YouTube. Sesekali direkam juga. Hehehe.
*
Lambat laun, dunia penyiaran (broadcasting) pun menarik perhatian saya. Momen yang sangat terlambat, karena sebenarnya dulu di SMA di ekskul Jurnalistik ada bidang Broadcasting. Tapi saat itu saya malah masuk ke bidang Majalah.
Kemudian, selulus SMA dan kuliah, pernah pula saya coba mencari lowongan penyiar lewat media sosial. Tapi nihil. Jarang sekali radio yang mencari penyiar baru. Kalau pun ada, pasti menyertakan syarat berpengalaman atau batas usia.
Ya, baiklah. Mungkin ini memang bukan jalan yang harus saya tempuh.
*
Ketika pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia di awal Maret 2020, saat itu pula saya mengenal aplikasi Anchor. Info seputar aplikasi perekam suara ini saya peroleh dari Spotify, lewat beberapa podcast yang saya dengarkan.
Maka, saya pun meng-install-nya. Lalu mencoba bercerita di sana sejak akhir Maret. Pertama, iseng membuat bagian opening. Lalu bercerita seputar keseharian selama di rumah saja, perjalanan ke Jogja di masa pandemi, melontarkan pendapat pribadi atas sesuatu hal, membaca puisi, juga bercerita seputar buku, film, dan aktor favorit.
Saya pun sudah tahu sejak lama, bahwa apa pun yang direkam menggunakan Anchor bisa dengan mudah dimasukkan ke Spotify. Tapi, ragu dan keminderan saya menghalangi semuanya. Saya merasa belum siap jika bahasan-bahasan sederhana nan receh ini didengar lebih banyak orang. Lagipula, apakah suara saya ini layak diperdengarkan?
Sekian lama, kumpulan rekaman itu hanya tersimpan di Anchor. Hingga akhirnya, pada sebuah siang di tanggal 13 Juni, saya bertemu lagi dengan seorang kawan di acara rutin komunitas. Tukar kabar dan obrolan, kawan saya itu berkata ia sudah punya podcast di Spotify. Separuh kaget dan antusias, saya pun tertarik mendengarkan ceritanya di podcast bernama Telinga Menyuara tersebut. Sembari tertawa kecil, ia pun mendorong saya meluncurkan kumpulan rekaman ke Spotify.
*
Rupanya, kata-katanya yang bernada pelan itu cukup berhasil menyulut semangat saya. Pada 17 Juni lalu, akhirnya saya memberanikan diri meluncurkannya ke Spotify. Kemudian, di tanggal yang sama juga merilis pembukaan singkat untuk edisi terbaru. Sehari setelahnya, saya membahas topik tentang Menjadi Anak Sulung dari sudut pandang saya.
Jadi, terimakasih untuk Anchor, Spotify, dan khususnya pada Fatwa Nurviena. Akhirnya saya berani merilis kumpulan cerita itu.
Dan Ruparasa, kenalkan kekasihmu yang baru, Suara Rasa. Rukun selalu ya, kalian, hehehe...
Oh ya, Pembaca, adakah usulan tema untuk Suara Rasa selanjutnya?[]
Dengarkan Suara Rasa di sini.
Image supported by Canva
0 Komentar