-With Song Title & Lyrics of Kevin and The Red Rose
Part 1 - Intro
Langit kota mulai mengelabu sejak bel pulang sekolah berdentang. Grey melangkah gontai menuju parkiran, berniat segera menjemput motor dan pulang. Materi Reaksi Redoks dan Elektrokimia yang disampaikan Pak Munawar limabelas menit lalu masih membuat kepalanya pusing. Belum lagi tugas Matematika dan Fisika yang belum disentuhnya sama sekali. Kalau bukan karena paksaan Papa, ia takkan sudi masuk jurusan IPA.
"Grey!"
Langkah terburu terdengar dari belakang. Sejenak kemudian, sebuah lengan melingkari pundaknya. Grey menoleh, tersenyum seadanya pada lelaki di sampingnya itu. Dia Redo Armandio, sahabatnya sejak SMP. Seperti namanya, ada ransel merah tersandang di bahu kirinya. Sneakers-nya pun berwarna senada.
"Mau ke mana habis ini, Bro?"
"Pulanglah, Red. Mau ke mana lagi, coba? Udah mau hujan juga!" jawaban Grey kontras dengan semangat Redo. Redo membelalak.
"Pulang? Yailah Grey, ditungguin siapa sih di rumah? Buru-buru amat? Udahlah, ikut gue aja dulu, yuk!"
Grey menggeleng. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa Redo sesantai ini. Ia tahu, Redo sama sepertinya yang tak menyukai jurusan IPA. Redo mengikutinya masuk IPA hanya untuk menyemangatinya. Tapi, Redo bisa jauh lebih santai darinya. Buktinya, kini Redo mengabaikan PR yang menggunung dan malah mengajaknya ngopi.
"Nggak bisa, Red. Gue mau langsung pulang aja, keburu hujan tuh! Lagian, PR lagi banyak, malah kelayapan lo!"
Redo terbahak. Ia tahu, ini hanya alibi Grey saja. Alasan sebenarnya, seseorang bernama Greyandra Nayosa ini takut dengan hujan! Redo masih ingat cerita Grey tentang asal muasal namanya. Nama Grey diberikan bukan tanpa alasan. Ia memang lahir saat langit mendung pekat, persis seperti siang ini.
Grey sudah mengenakan helm dan berada di atas motor abu-abu metaliknya. Bersiap melaju. Namun Redo yang berpostur cukup gempal berhasil menghadang. Grey menghela napas, kini mulai kesal. Bersamaan dengan itu, pasukan air menyerang tanpa aba-aba.
Wajah Grey panik. Segera ia turun dan mengunci motor. "Ya udah, ayo deh! Ayo! Mau ngopi di mana, sih? Jauh nggak? Kalau jauh, mendingan gue pulang aja!"
Tawa Redo membahana di tengah deras hujan. "Jadi ikut gue ngopi, nih?"
Grey mengiyakan setengah enggan, melangkah cepat sebelun bajunya makin basah seperti jaket abu-abunya yang menjelma jadi pelindung kepala.
#
Kedai mungil itu bernama Seduh, hanya satu lantai berarsitektur mininalis. Aroma kopi menyapa hidung begitu Redo membuka pintu dan masuk. Grey mengikuti di belakangnya. Sepasang mata Grey langsung tertarik pada empat set bangku yang ditata agak berjauhan, sebuah meja bar, lengkap dengan seperangkat mesin kopi, etalase kue, dan microwave.
"Selamat datang!" sepasang muda menyapa ramah dari balik meja bar. Redo menyambut antusias, menyebut nama mereka berdua. Mas Arya, seorang lelaki gondrong, dan Mbak Nana, wanita berambut sepunggung yang dikuncir kuda.
"Baru pulang sekolah, Redo? Pengin minum apa hari ini?" Mbak Nana menanyai sembari bersiap di depan mesin kasir. Redo urung menjawab, masih mengamati aneka kotak kopi. Namun kemudian matanya teralih, sekilas membaca papan menu yang terpasang di hadapannya.
"Hot latte satu, dan... brownies-nya satu. Kalau teman saya... Woi, Grey! Mau minum apa lo?"
Grey tersadar. Sejak tadi ia masih berdiri di depan pintu, mengamati seisi kedai. Separuh takjub pada tata ruangnya yang sederhana, tapi nyaman. Ia tak menyangka, di kota ini ada kedai model begini. Perlahan, Grey menyusul Redo menuju meja bar.
"Tubruk aja, sama Mac 'n Cheese." jawabnya setelah mengamati etalase kue sejenak. Mbak Nana mencatat pesanan mereka, sementara Mas Arya mulai sibuk meracik kopi. Redo dan Grey menduduki sebuah bangku panjang di dekat meja bar.
Mata Redo mengelilingi ruangan, sedangkan Grey mulai sibuk dengan ponsel. Sebuah sajak diiringi piano mengisi ruang dengarnya, lewat seutas earphone yang terpasang.
Kulihat dari kejauhan,
sepasang sayap terbalut sinar
Kau merengkuh jiwaku yang bimbang
Memberikan cahaya yang tenang
Tercium aroma tubuh yang tersenyum
Namun samar, engkau hilang dalam lamun...
"Mbak Nana! Mas Arya!"
Dua pemuda itu terhenyak. Denting lonceng di atas pintu kedai diiringi sapa nyaring itu, membuat Redo menoleh. Grey pun spontan menekan tombol pause. Alunan piano dan bait indah itu pun terhenti. Seketika, ia terkesima. Embusan udara dari pendingin ruangan berpadu aroma kopi buatan Mas Arya, serta bau khas petrikor yang menguar dari pakaian gadis itu berhasil memaku tatapnya. Mempesonakannya.[]
To be continue...
0 Komentar