Tiga Hari Saja; Terkenang Selamanya (1)

Terus melaju
Ku terus berlagu
Yang aku tunggu
Bersua denganmu...
-Cakka Nuraga


Jumat, 28 Juni 2024

Hari itu masih sore, kala jalanan setapak berbatu menyaksikan langkah tertatih saya.

Di depan pagar, sosok cantik itu berdiri menyambut. Terhenti langkah, sejenak terpana. Rasa haru memenuhi dada. Betapa saya merindukannya, Ya Allaah.

Ya, akhirnya sore ini saya bertemu Ajeng. Pertemuan yang sudah dinantikan sejak beberapa minggu lalu.

***

Usai menukar erat jabat tangan, Ajeng menggandeng saya melintasi setapak berbatu itu. Senyum saya mengembang lagi saat mendapati Kak Didi duduk di salah satu bangku. Tak sendiri, ada pula sosok mungil Dylan di sana.

Ya. Berbeda dengan kunjungan dua tahun lalu, kali ini putranya, Dylan juga ikut serta. Dengan senyum khasnya, lelaki kecil yang duduk di bangku kelas 2 SD itu menyambut saya.

"Halo, Tante."

Ucapnya seraya menukar jabat tangan. Saya tersenyum, membalas sapanya. Kemudian mengambil tempat di sebelah Ajeng.


Cerita pun mengalir tanpa diminta. Rupanya, keluarga kecil ini menghabiskan 2 hari kemarin dengan beristirahat di hotel, main ke Blitar Park di kawasan Garum, ke Tibal Garden, juga napak tilas ke gedung SD tempat Ajeng (dan saya) sempat bersekolah dulu.

Saya sempat amazed saat Dylan menceritakan kegembiraannya mencoba berbagai wahana di Blitar Park. Kak Didi menambahkan, tempat wisata itu jauh lebih murah jika dibandingkan Bekasi.

Ditemani segelas kopi susu dan nasi goreng, obrolan terus berlanjut. Tak lupa, kami membahas agenda esok. Rencananya, kami akan menghadiri resepsi pernikahan Dimas, teman SD dulu. 

***

Selepas maghrib, kami memutuskan pindah ke tempat lain. Pasangan ini sudah menyewa motor begitu sampai di Blitar. Jadilah, saya memesan ojek, dan kami beriringan menuju Nata Coffee & Eatery di kawasan Jalan Veteran.


Perbincangan masih riuh ditemani beragam menu yang dipesan. Saya memilih kentang goreng saus keju dan es teh lemon. Kisah hidup saya dan Ajeng bergulir bergantian, diwarnai kata-kata penyemangat.


Sementara itu, Kak Didi kembali fokus pada laptopnya setelah membuatkan soal-soal sederhana untuk Dylan. Namun, sesekali ia menimpali obrolan kami dengan canda yang meledakkan tawa saya.

"Dinda, kamu inget nggak? Dulu waktu aku main ke rumah kamu, di kamar kamu banyak posternya, kan?"

Ajeng membuka topik baru. Sembari mengunyah kentang goreng, saya mengiyakan. Kemudian, saya tergelak saat cerita berlanjut.

Kala itu, selepas pulang dari rumah saya, ternyata Ajeng juga ingin menata kamarnya seperti kamar saya. Namun karena tidak punya poster, ia menyobek seluruh halaman majalah Bobo untuk ditempelkan di setiap sudut dinding kamarnya.

Kami berdua tertawa mengingatnya. Pada saat itu, kamar saya memang dihiasi poster yang dibeli dari pedagang kaki lima. Ada gambar Westlife, Putri Huan Zhu, hingga F4. Gambar-gambar itu makin bertambah saat munculnya ajang pencarian bakat Akademi Fantasi Indosiar (AFI).

Namun, era poster berakhir ketika saya SMP. Seluruh poster dilepas oleh ayah dan dibuang, karena dinilai tidak estetik dan membuat kamar terkesan semakin berantakan.


Tak terasa, sudah hampir pukul sembilan. Kami bersiap pulang. Berfoto tentu menjadi hal yang tak boleh dilupakan.

Agenda esok pun telah dinantikan, mungkinkah akan ada kejutan?[]

Blitar, Juni 2024
Adinda RD Kinasih

 

Posting Komentar

2 Komentar