Takjub Pada Juli: Jumpa Idola Masa Kecil (Bagian Satu)

Kala itu, rasa takjub buat Selasa jadi terang
Menyala karena indahnya kenang-kenang
Hari itu, anak-anak dirayakan dengan riang
Layaknya indah masa kecil yang diulang




Perpustakaan Proklamator Bung Karno, 23 Juli 2024...

Takjub pada Gedung Megah dan Temu Tak Terduga
Hari masih pagi, kala kuda beroda dua itu terhenti di depan pintu masuk. Perlahan saya turun dari boncengan, lalu mengangsurkan helm. Tak lupa mengucap terima kasih pada pengemudinya.

Langkah tertatih ini berlanjut memasuki gedung. Sepasang mata menyapu sekeliling, separuh takjub. Tapi, ada kebingungan terasa dalam benak. Di mana ruangan itu?

Sapaan seorang lelaki berkemeja batik menghentikan langkah saya.

"Mau ke mana, Mbak?"

Saya pun menjelaskan tujuan datang ke sini. Lelaki itu tersenyum sembari menunjukkan letak lift.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, langkah ini setengah terburu menuju lift bersama segerombolan pengunjung. Tujuan kami sama, ke lantai tiga.

Luapan rasa takjub itu tak kunjung reda saat tiba di sana. Tempat magang saya dulu, kini jadi semegah ini?

Di depan meja registrasi, mata saya berbinar saat menangkap sosok Mbak Ami, juga Bu Ana. Beliau adalah dua dari beberapa petugas perpustakaan yang paling saya ingat.

Sejenak, kami menukar obrolan seputar kabar dan kegiatan sehari-hari.

Kemudian, binar mata ini makin terang dalam keterkejutan, saat sosok cantik Ulil Fuadah tertangkap dari kejauhan. Sudah lama sekali tak berjumpa dengan kawan saya itu.

***

Dibuat Takjub oleh Auditorium
Rasa takjub serupa hadir lagi saat memasuki ruangan Auditorium. Sebelum melangkah masuk, ada Bu Ellys dan Bu Nurny Syam yang menyambut dengan senyuman.

Ingatan saya melayang pada masa magang 10 tahun lalu, saat Bu Nurny menjadi salah satu pembimbing saya.

Saat ini, beliau menjabat sebagai kepala perpustakaan ini. Time flies, indeed...

Saya pun memasuki Auditorium, masih bersama Ulil. Rupanya, ibu muda itu datang kemari atas sebuah undangan, karena ia sempat mengirim tulisan ke website Perpustakaan Bung Karno.

Maka itu, sebenarnya tempat duduk kami terpisah. Namun, saya meminta panitia untuk membiarkan kami duduk bersebelahan. Untunglah diperbolehkan.




Dengan antusias, kami menyaksikan rangkaian penampilan dan bakat hebat beberapa anak. Mulai dari mendongeng, berpuisi, hingga menyanyi.

Tak hanya menukar cerita, saya dan Ulil juga menyempatkan berfoto dengan kamera yang terkalung di lehernya.

Salah satu penampil bernama Adinda menarik perhatian saya. Gadis cilik yang masih duduk di Sekolah Dasar itu menyuguhkan dongeng tentang Bung Karno secara solo dan bergaya semi-teatrikal. Kamu menakjubkan, Adinda kecil!

***

Tibalah saat pembawa acara memanggil satu nama yang dinanti sejak tadi. Susan dan Ria Enes. Saya terpaku menyaksikan dua sosok legendaris itu melangkah naik ke panggung dengan penuh senyum.

Dari tempat saya duduk, pandangan enggan lepas dari panggung. Beragam rasa hadir di dada, didominasi takjub dan tak percaya. Akhirnya, saya bisa melihat langsung idola masa kecil kesayangan.

Suara Susan masih sama imutnya seperti yang saya dengar di era 90-an. Begitu pula suara asli Kak Ria. Logat Jawa Timuran Susan pun masih kental, menjadi ciri khas sejak dulu.




Hari itu, talk show bersama mereka membahas seputar parenting di masa kini. Penuturan Kak Ria tersampaikan dengan bahasa sederhana, sehingga mudah dimengerti para penonton; juga anak-anak yang hadir.

Tak hanya berbincang, Susan dan Kak Ria juga menyuguhkan lagu anak, seperti Abang Tukang Bakso dan Susan Punya Cita-Cita di penghujung acara.

Sebelum keluar dari auditorium, semua penonton sempat mengabadikan foto dengan sosok ventriloquist kawakan tersebut, tentu masih bersama Susan di pangkuannya.

Namun, wajah saya tak terlihat jelas karena posisi yang berada di belakang.

***

Bersambung....


Posting Komentar

0 Komentar