Jadi 'Groupies' di Usia 30-an, Masih Pantaskah? (Bagian Dua)

Cerita masih berlanjut ke era kini. Adakah nama lain yang saya kagumi?





Era Kini
Kini. Kala usia saya memasuki 30-an. Saya kira, masa-masa 'ngefans setengah mati' ini telah berakhir. Namun, rupanya saya salah.

Tak hanya Afgan, kini juga ada Ello, yang sesungguhnya sudah saya 'kenal' sejak 2005.

Lagu lawas Pergi untuk Kembali yang dipopulerkannya lagi di masa itu, berhasil membuat saya penasaran.
Sosok gondrong dan suara khasnya pun menarik perhatian saya lewat layar televisi.

Saat itu, saya pun sempat membeli kasetnya.
Album pertama yang juga bertajuk 'Ello'.

Ada 10 lagu di dalamnya, dan 9 diantaranya adalah ciptaan Ello sendiri.
Dalam album tersebut, putra bungsu Minggus Tahitoe itu mengusung genre pop RnB.




Namun, selepas album tersebut, kekaguman saya pada Ello perlahan surut.

Sepupu Glenn Fredly ini sempat hiatus hingga tahun 2008, hingga kemudian meluncurkan hits Masih Ada. Rambutnya pun telah berubah pendek.




Sejumlah lagu lain seperti Buka Semangat Baru, Yang Kunanti, dan Gak Kayak Mantanmu pun sempat akrab di telinga, meski tak lagi menimbulkan rasa kagum yang sama.

Apalagi ketika secara mengejutkan, Ello tertangkap polisi dan direhabilitasi akibat penggunaan narkoba di tahun 2017.

Jujur saja, saat itu saya cukup kecewa dan berujung tidak mengikuti perjalanan musiknya sama sekali.
***

Kembalinya Rasa Kagum
Namun, pada 2021, Ello kembali membuat kejutan lewat kehadirannya dalam konten YouTube Ahmad Dhani.

Apalagi saat dirinya diumumkan sebagai vokalis baru Dewa19. Dari sanalah saya melihat sosok Ello yang berbeda.




Sisi lain lelaki kelahiran 1983 ini semakin terlihat sejak ia menjadi salah satu mentor dalam ajang X Factor Indonesia 2024. Penampilannya yang kini gondrong lagi pun menarik perhatian mata saya.

Mulailah saya mencari tahu segala tentang Ello lebih dalam. Salah satunya, lewat sejumlah podcast yang menyajikan cerita hidup dan karirnya yang berliku.




Dari sanalah saya tahu, bahwa Ello begitu terpukul dan terpuruk saat sang ibu berpulang pada 2013 lalu. Dirinya sempat tidak percaya cinta, dan melarikan diri ke obat-obatan terlarang.

Pergulatannya dengan narkoba dipaksa berakhir kala Ello diamankan pihak berwajib pada 2017.

Usai menjalani persidangan, dirinya masuk rehabilitasi selama 9 bulan. Putra bungsu penyanyi legendaris Diana Nasution ini pun menemukan perubahan besar sejak berada di sana.




Perjuangan Ello belum usai di situ. Setelah masa rehabilitasinya berakhir, ia masih harus berjuang untuk menemukan clean cycle-nya.

Karir musiknya ditandai dengan nama panggung baru, Marcello Tahitoe. Dengan berani, Ello mengusung genre rock dalam album Antistatis (2019) dan 99 (2020).

Keberanian ini membuahkan hasil. Meski albumnya kurang laris di pasaran, namun Ello berhasil meraih piala AMI Awards untuk album rock tersebut.




Ketika pandemi COVID-19 melanda, Ello sempat mengalami kesulitan finansial. Ia sampai harus menjual studio musik dan beberapa gitar miliknya.

Saya salut melihat perjalanan hidup dan karir Ello yang mirip rollercoaster itu.
Dirinya memang putra musisi legendaris negeri ini, namun hal itu tak lantas membuat hidupnya selalu mudah.
***

Kejutan dari Ello
Sosok ayah satu anak ini belum berhenti memberi kejutan.

Saya sempat terpana dan tak percaya saat mengetahui Ello kerap notice hampir semua Instagram story saya yang mencantumkan username-nya.

Hingga kini, jumlah likes yang diberikan Ello sudah lebih dari 30 kali. Saya sungguh tidak menyangka.

Ya, menekan ikon hati di pojok kanan bawah itu memang sesuatu yang sederhana. Namun, itu semua mampu menjadikan hari dan hati saya menjadi lebih baik.





Saking seringnya Ello memberikan like-nya, saya pun tergerak untuk mengirimkan direct message padanya.





Pesan cukup panjang itu berisi ucapan terima kasih atas semua likes yang telah ia sematkan.
Tak lupa, saya tambahkan keinginan bertemu langsung dan semua doa baik untuk diri dan keluarganya.

Direct message itu pun terkirim pukul sebelas malam. Rasa deg-degan mulai melingkupi benak saya.

Tapi, tak ada harap yang terlalu tinggi di sini. Bagi saya, berani dan berhasil menulis dan mengirim pesan itu pada Ello saja sudah menjadi pencapaian tersendiri.

Namun, rupanya sebaris pesan baru muncul beberapa menit kemudian. Balasan dari Ello!

Ini mimpi atau sungguhan? Mata saya agak terbelalak demi membacanya sekali-dua kali lagi.
Pesan itu tidak panjang. Hanya tiga kalimat, namun terasa begitu hangat.



"GBU too. Terima kasih supportnya selama ini. Nice to know you."

Begitu yang terbaca di mata saya, lengkap dengan ikon hati. Senyum saya melebar seketika. Beragam rasa bermunculan dalam dada, terasa ingin meledak saat itu juga.

Sosok Ello ternyata jauh lebih hangat dari yang saya duga. Dan, saya sungguhan susah tidur malam itu...

Seperti pada era Afgan dulu, akhirnya saya pun menyadari bahwa di era kini, menyukai Ello pun menjadi sebentuk pelarian.
***

"Kamu kayak anak SMP aja. Tuh, ada poster artis segala."




Komentar ibu saya separuh bercanda, sambil memandang poster Ello yang saya pajang di kamar. Saya hanya tertawa. Di masa ini saya sudah tak lagi terlalu memusingkan komentar orang tentang kebiasaan saya yang satu itu.

Sebab memang benar, menyukai Ello dan Afgan adalah sebentuk pelarian yang perlu saya jalani, dan hal itulah yang bisa membuat saya bahagia.

Semoga suatu saat nanti saya bisa bertemu langsung dengan Afgan dan Ello, aamiin...

Namun, terkadang masih ada pertanyaan ini di dalam benak saya. Masih pantaskah jadi groupies di usia 30-an seperti sekarang?[]

Agustus 2024
Adinda RD Kinasih

Sumber Foto:
- Dokumentasi Pribadi
- Pinterest
- Tangkap Layar:
Instagram/@marcello_tahitoe
Instagram/@marcellover_tahitoe
Live Streaming RCTI+
YouTube/@SophieNavitaTV









Posting Komentar

0 Komentar