Takjub Pada Juli: Jumpa Idola Masa Kecil (Bagian Dua)

Masih di Perpustakaan Proklamator Bung Karno, 23 Juli 2024...


Takjub pada Temu di Depan Pintu Masuk
Panasnya siang terasa makin garang. Saya terduduk sendirian di tangga depan pintu masuk. Sementara, Ulil sudah pulang sejak acara berakhir, setengah jam yang lalu. 

Sebuah kresek berisi nasi kotak dan kue terletak bersebelahan dengan totebag berisi tumblr, notebook, dan kipas; souvenir dari acara hari ini.

Segera saya pindahkan nasi kotak itu ke totebag, agar lebih mudah membawanya saat pulang nanti. Setelah ini, ojek online akan lekas dipesan.

Namun, ada hal yang mengganjal, dan sepertinya harus benar-benar saya perjuangkan kali ini. Sayang sekali jika kesempatan langka ini dilewatkan begitu saja.

Ponsel pun berada di genggaman, namun bukan untuk memesan tumpangan. Saya buka WhatsApp dan mengirim pesan pada Bu Ellys, yang menjadi ketua panitia acara. Menanyakan kemungkinan pertemuan itu.

Bu Ellys membalas tak lama kemudian. Rupanya, saya harus menunggu sedikit lebih lama demi bisa berjumpa.

Orang yang saya tunggu masih menjalani sesi wawancara, berlanjut dengan makan siang, dan berziarah ke makam Bung Karno.

Hati mulai bimbang, seiring makin teriknya panas siang. Haruskah saya pulang, atau menunggu demi sebuah temu?

***

Di tengah pergulatan dengan pikiran, sosok Mas Hanafi dan Mas Friska lewat di hadapan saya dalam waktu tak berselang lama.

Dua lelaki ini juga menjadi sosok yang paling saya ingat semasa magang dulu. Kala itu, Mas Han bertugas di bagian registrasi anggota perpustakaan. Sedangkan Mas Friska berada di Layanan Koleksi Memorabilia.

Kami terlibat dalam obrolan singkat seputar tanya kabar. Kemudian, Mas Han melanjutkan agendanya siang itu, menjemput sang anak di sekolah.

Sementara itu, Mas Friska tengah menuju parkiran bersama Eza, putranya.

Time flies, indeed. Kini, lelaki kecil itu sudah duduk di bangku kelas 5 SD. Dia juga sudah punya adik perempuan yang lucu. Dulu, di masa saya magang, Eza masih balita.

***

Tak terasa, setengah jam berlalu. Saya masih bertahan, duduk di tepi anak tangga depan pintu masuk bersama ponsel di genggaman.
Kabarnya, seseorang yang saya tunggu sudah usai berziarah, dan akan segera pulang.

Debar-debar itu kembali mengisi rongga dada. Diiringi tanya-tanya dalam kepala, akankah beliau lewat sini dan sempat menyapa?

Tak lama kemudian, nampak tiga wanita melangkah mendekati tempat saya duduk. Saya menoleh dan langsung mengenali ketiganya. Ada Bu Ellys, Bu Nurny, dan sosok yang saya tunggu sejak tadi. Ya, Kak Ria Enes.

Senyum tergambar di wajah saya seketika. Saya ingin segera berdiri, namun duduk lagi, karena lutut mendadak lemas.
Waduh, ternyata saya grogi. Apalagi saat langkah Kak Ria makin dekat.

Masih dengan busana yang sama, sosok legendaris itu menghampiri. Seluruh tubuh saya gemetar, tapi akhirnya saya sanggup berdiri.

Beberapa saat saya kehabisan kata. Masih separuh tak percaya, figur favorit sejak kecil, berdiri persis di hadapan siang itu.





"Boleh minta foto, Kak Ria?" tanya saya pelan.

Wanita yang tetap cantik di usianya yang sudah 50 tahun lebih itu mengiyakan sembari melukis senyuman.

Saat saya menanyakan di mana Susan, Kak Ria tersenyum sembari berujar, Susan sudah berada di dalam koper khususnya.

Rupanya, ini saatnya Susan istirahat, jadi tak bisa diajak foto bersama. Sayang sekali...

Namun, meski Susan tak ikut dalam momen ini, debar itu tetap ada. Bu Ellys lekas mengambil ponsel dari tangan saya dan mengarahkan kamera pada kami berdua.

Lutut saya makin lemas saat merasakan rangkulan Kak Ria selama kami berfoto. Berada sedekat ini dengan idola masa kecil, rasanya seperti mimpi.

***

Setelah mengabadikan beberapa gaya, Kak Ria bersiap pergi dengan menumpangi mobil silver yang telah terparkir di halaman.

Sebelum beliau pergi, saya sempat mengatakan telah menggemari lagunya sejak kecil.

Kak Ria kembali tersenyum dan mengucap terima kasih. Mobil silver itu pun berlalu. Bu Ellys dan Bu Nurny juga mohon diri untuk melanjutkan aktifitasnya.

Bersama jutaan rasa, saya kembali duduk di tempat yang sama. Tatapan belum lepas dari ponsel di genggaman, tepatnya pada foto yang baru saja terabadikan. Rasa haru, gembira, dan tak percaya menjadi satu dalam dada.

Tak lama kemudian, tumpangan yang saya pesan telah tiba. Inilah saatnya benar-benar pulang, bersama indahnya kenang-kenang.

***

Memori saya kembali pada 2018 lalu, kala semesta merestui pertemuan dadakan saya dengan Fiersa Besari di Surakarta. Agaknya, momen kali ini pun serupa.

Ada semesta yang mengamini ingin saya berjumpa Kak Ria Enes, idola masa kecil yang tak pernah saya sangka akan datang ke kota ini.

Terima kasih saya untuk Bu Ellys Maharani, untuk semua bantuannya hari ini. Ulil Fuadah untuk perjumpaan manis dan foto kerennya.


Juga Bu Nurny, Bu Ana, Mbak Ami, Mas Han, dan Mas Friska untuk telah menyempatkan berbagi sapa ramah dan sedikit cerita.

Dan tentunya, terima kasih Kak Ria Enes, untuk ramahnya senyuman dan telah bersedia meluangkan waktu demi mengabadikan sebuah kenangan yang tak terlupakan bagi saya.

Semoga segala kebaikan menyertai Anda semua.[]
Nb: Saya juga lampirkan foto Bu Ellys bersama Susan.

Blitar, 23 Juli 2024
Adinda RD Kinasih



Posting Komentar

0 Komentar