-Aku hanya bisa menyimpan kesal, saat ada mulut berkata, Maaf aku sibuk, sementara aku sedang sangat butuh dia saat itu. Padahal aku hampir tak pernah melontarkan kalimat itu tiap ada yang membutuhkanku...-
Ini malam. Segelas cokelat panas yang perlahan mendingin ada di sampingku. Syukurlah. Setidaknya ada yang masih sudi menjadi kawan di tengah sepi yang memuakkan ini. Sepi yang memuakkan. Aku sudah terbiasa sendirian, memang. Tapi tak bisa dibantah, aku jenuh hanya berteman sepi yang menertawaiku tak henti. Menertawai kejenuhanku, sedikit pun enggan merasai pahitnya airmata yang menderas dalam diam.
Entah, mengapa sepi itu ada, dan perlahan menyiksa. Sepi itu hanya diam, namun kekejamannya terasa. Apalagi saat lara menyapaku, disertai kecamuk galau dan deraian hujan dari pelupuk mata.
Selama ini aku tak terlalu peduli pada sepi. Tak terlalu pikirkan ponsel yang makin jarang saja berdering. Masih ada alunan lagu, masih ada dunia maya yang bisa kuselami.
Lalu, tiba-tiba aku merasa risih pada sepi, merasa kesal, apalagi jika kalimat itu yang terlontar. Maaf, aku sibuk.
Ya, aku sangat mengerti, semua punya kesibukan masing-masing. Namun, haruskah kalimat itu yang mewakili segala kesibukan? Maaf, tapi kurasa kalimat itu terlalu arogan.
Kemudian, sekelebat tanya membaur dalam hatiku. Sebenarnya, siapakah yang paling mengerti diri kita?
Sahabat?
Sahabat. Ah, aku jadi meragukan istilah ini. Tak ada. Sebenarnya tak ada seorang pun yang bisa disebut sahabat. Karena sahabat sejati kita hanyalah diri kita sendiri. Dialah yang paling bisa merasakan setiap lara yang menyerang, setiap tawa yang menguar. Dia juga yang bisa menawarkan segala macam obat untuk semua masalah yang kita hadapi.
Dan, siapakah yang bisa menjadikan diri kita sekuat itu? Dialah Sang Segala Maha....
Sepatutnya aku tak perlu merasa sepi, karena ada Dia. Aku juga tak sepantasnya berkeluh kesah, karena Dia tak mungkin menghadirkan masalah tanpa sebuah penyelesaian.
Tapi, aku...beginilah aku. Tak bisa menyimpan lara yang mendera sendirian. Sudah kukisahkan segalanya pada Dia, namun aku juga masih butuh seseorang.
Orangtua? Bagiku, sekali lagi, bagiku, orangtua tak selalu bisa beri penyelesaian tepat. Bukan tak bisa. Tapi tak selalu bisa. Dan lagi, ganasnya waktu yang seolah menyita mereka, berkutat dalam ruang kesibukan. Lalu berujung pada lelah. Ah, lagi-lagi...Sibuk...
Lalu, semuanya berakhir pada diriku sendiri, lagi. Kurasai lara itu sendiri, kubenamkan airmata dalam gundukan sepi, tak ada yang tahu, selain-Nya. Lalu berusaha kutemukan pemecahan masalah itu, sendirian. Dan aku tak pernah menyalahkan-Nya, karena aku percaya Dia tak mungkin menghadiahkan masalah yang tak bisa kuselesaikan. Setiap masalah punya pemecahannya, itu yang kuyakini.
Jadi, semua kembali pada-Nya. Pada diriku sendiri lagi. Terkadang ada perih terasa, saat mengingat mereka, orang-orang yang dulu sempat menyebut mereka sebagai sahabatku. Nyatanya kini mereka tak ada. Karena Sang Sibuk merenggut mereka, menarik paksa mereka. Pergi dariku.
So, actually, who knows who we are exactly? For me, only God and myself... No one else...
0 Komentar