Makan siang yang terlambat baru saja tandas, saat bunyi bel terdengar dari luar. Ya, saya memang baru pulang dari pertemuan rutin komunitas menulis di Perpustakaan Bung Karno. Terimakasih untuk layanan ojek berbasis aplikasi yang telah hadir di kota ini. Mobilitas saya jadi makin mudah kini.
Tapi bukan itu inti catatan hari ini. Mari kembali ke bunyi bel di muka pintu ruang tamu. Siapa yang sore-sore begini berkunjung, pikir saya. Ah, mungkin teman Ayah.
***
Segera saya ayun langkah dan membuka pintu ruang tamu. Tampak seorang perempuan manis berkacamata, berdiri di salah satu anak tangga. Siapa ini? Apakah salah satu teman Adik?
Baru saja akan berbalik masuk untuk memanggil adik saya, tiba-tiba memori saya memunculkan satu nama. Hah, benarkah? Sejenak seisi pikiran dipenuhi penasaran.
Lalu langsung saja, "Kamu Dewi ya?"
Yang segera disusul tawa geli. Ternyata benar. Dia salah satu Sahabat Merah Putih-mungkin yang paling lama tidak bertemu.
Kejutan! Teringat pesan Whatsapp saya untuknya yang tanpa balasan. Lalu sore ini, ia tiba-tiba hadir di muka pintu. Saya benar-benar terkejut.
***
Setelah masuk ke dalam sejenak untuk mengambil ponsel dan meletakkan buah tangan yang Dewi bawa, segera saya kembali ke teras. Saat itu listrik di rumah saya memang padam. Teraslah yang jadi tempat paling terang.
Beragam kisah mengalir tanpa diminta. Saya banyak bertanya; seputar pekerjaannya di Pontianak, keadaan Bapaknya, hingga sampai kapan ia ada di Blitar. Rupanya ia akan kembali ke Kalimantan besok.
Berbincang dengan Sahabat Merah Putih terasa tak lengkap tanpa cerita masa kecil. Itu pula yang saya bahas dengan Dewi. Tawa panjang tak henti mengekori lembaran kenangan yang terbuka kembali.
***
Dewi berkata, dulu ia ingin pindah dari sekolahnya yang lama karena pulangnya terlalu pagi, dan belum ada orang di rumah. Akhirnya, sang Bapak memindahkannya ke SDI. Tepatnya saat masuk kelas 2.
Namun, Dewi kerap menangis sepulang sekolah karena dijahili oleh Sang Raja Usil di kelas kami. Siapa lagi kalau bukan Gilang, hahaha. Saat itu, Dewi memang siswi baru di sekolah kami. Sekelas dengan saya juga.
Akhirnya Bapaknya berkata, jika ada anak yang mengusili lagi, Dewi harus berani memukulnya. Saran itu pun ia terapkan. Gilang pun jadi tak berani mengusili Dewi. Ah, andai saja dulu saya seberani itu, hahaha...
***
Di sela menertawai kekonyolan kisah masa kecil, terselip cerita tentang sang Ibu. Ibunda Dewi telah wafat, kalau tidak salah Maret tahun lalu. Dengan hati-hati, saya menanyakan penyebabnya. Dewi bercerita kemudian, dengan agak tersendat.
Sekarang saya tahu, mengapa Dewi menjadi salah satu yang paling sulit dihubungi saat itu. Dia sedang fokus merawat sang ibu. Ah, saya minta maaf, Wi. Kalau saja saya tahu sejak awal.
***
Wajah Dewi kembali ceria saat kenangan masa sekolah kembali ditukar. Kami membahas sejumlah kejadian lucu di kelas B dulu.
Salah satunya, dahulu di pelajaran Matematika ada sesi "mencongak". Mencongak adalah adu cepat menjawab soal. Dewi masih ingat, saat itu terjadi persaingan antara Gilang dan Donny.
Saat nilai diumumkan, rupanya Donny mendapat nilai jelek. Donny pun langsung menangis. Hahaha...
***
Asal tahu saja, Dewi ini adalah salah satu sahabat baik saya di sekolah. Dia sering menemani saya berjalan ke mushala sekolah, membantu saya berwudhu, memakaikan mukena, melipatkannya jika selesai shalat, sampai memakaikan sepatu.
Itu semua ia lakukan agar kami tak terlambat masuk kelas. Saya dahulu memang sangat lamban dalam melakukan banyak hal. Sekarang pun masih, meski tak selamban dulu.
Dewi juga beberapa kali menuliskan materi di buku catatan saya. Saya pun sering meminjam catatannya. Dan tak lupa, tentunya, kebiasaan kami bertukar surat saat itu. Hehehe.
Dewi sempat berkata, bahwa dia saja yang kurang telaten saat itu. Saya menyanggah. Bagi saya, sikap Dewi mengajarkan saya untuk selalu cekatan. Terimakasih ya, Wi. Saya bersyukur masih mengingat cerita itu. Karena itu pula yang saya jadikan pelajaran dan berusaha saya terapkan hingga saat ini.
Tak lupa, cerita seputar Sahabat yang lain pun turut mewarnai bincang kami sore itu. Dewi hanya mengetahui kabar Sahabat yang lain lewat media sosial mereka. Saya pun hampir sama. Hanya segelintir dari mereka yang kadang menyapa kotak masuk.
***
Saya pun sempat membahas sedikit tentang tulisan di blog saya untuknya. Dewi sendiri heran, bagaimana saya bisa mengingat sampai sedetail itu. Saya tertawa.
Mungkin ini karena kebiasaan menulis diari saat itu. Diarinya pun masih saya simpan hingga sekarang. Berwarna merah, lengkap dengan gambar F4, boyband Taiwan yang sempat booming jaman itu. Hahaha.
Dari situ, Dewi pun bercerita tentang novel kesukaannya. Gadis yang kini berkacamata ini menyukai karya Mira W., Tere Liye, dan Ika Natassa.
***
Adzan Maghrib menahan obrolan kami sejenak. Dewi berbisik, ia harus segera pamit pulang. Saya tersenyum dan memintanya tinggal sebentar hingga adzan usai.
Setelahnya, saya malah mencandainya. Teringat saat SD dulu, saya menangis saat Dewi pulang dari rumah saya. Hahaha.
Tapi kali ini tidak, tentu saja. Teringat Bapaknya yang di rumah sendirian, dan dia yang esok harus berangkat ke Surabaya dan terbang kembali ke Pontianak.
***
Terimakasih luarbiasa, Rwanita Anggar Dewi, atas kejutan akhir pekan yang kamu bawa sore ini. Untuk segala pelajaran hidup yang ikut terselip dalam ceritamu dan masa kecil kita. Maafkan jika ada ucap-ucap saya yang melukai hatimu.
Tapi, 13 tahun tak bertemu tak cukup dilunasi dengan satu setengah jam. Jadi, kamu harus main ke rumah saya lagi lain waktu! Hehehe.
***
Satu lagi. Saya harap kamu selalu sehat dan tetap kuat. Mungkin saya memang tak merasakan apa yang kamu rasakan. Tapi, saya percaya, Ibu kini sudah lebih bahagia karena tak sakit lagi. InsyaAllaah. Salam untuk Bapak ya, semoga sehat selalu.
Oh ya, terimakasih juga untuk Ponti Bonti Cake nutella-nya. Saya seperti merasakan berada di Pontianak di setiap gigitannya. Hehehe.
Harus kamu tahu, yang menunggumu di Blitar bukan saja rumahmu dan Bapak. Tapi saya juga. Saya tunggu kejutan-kejutan berikutnya darimu. Terimakasih banyak.[]
"Kenangan mencintai kita yang selalu saja berjalan di depannya. Ia tidak berharap kita selalu menengok ke arahnya. Katanya, nanti kita lupa melihat apa yang ada di depan.
Namun, ia juga tidak mau kalau kita sama sekali melupakannya. Dari mana kita akan belajar, jika tidak mau melihatnya lagi barang sejenak?
Tuhan mengirimkan dua wajah untuk Kenangan; memang kodratnya seperti itu. Wajah cantiknya untuk membantu kita menghargai apa yang pernah kita punya, dan wajah buruknya untuk membantu kita menghargai kehidupan."
-Fiersa Besari, dalam Garis Waktu hlm. 162
18 Pebruari 2018
Adinda RD Kinasih
0 Komentar