"Menjejaki trotoar Braga, melihat pelukis jalanan
Menggoreskan cerita tentang canda dan tawa
Bermain aku di taman kota, menikmati renjana yang membiru,
Aku terpikat berulang kali oleh sejuta pesonamu
Di kota ini aku temukan rangkuman persahabatan dan rasa cinta..."
-Fiersa Besari, Bandung
Ini masih Senin, sekitar pukul dua siang. Jalanan Kota Bandung masih cukup padat. Mobil kami ikut ambil bagian dalam kepadatan itu, menuju sebuah universitas di kawasan Dayeuhkolot. Ya, kami mengantar Mas Daffa yang memang ada kelas hingga usai Maghrib nanti.
Setelah berpamitan sejenak, Mas Daffa berlalu menuju kelasnya. Mas Hilmy yang kini berada di balik kemudi.
Destinasi selanjutnya adalah Pasar Baru, yang konon menjadi pusat jual beli aneka barang dan oleh-oleh khas Bandung. Inilah saatnya saya menentukan jalan sendiri. Saya akan menuju ke tempat lain demi bertemu seseorang.
*
Mobil berhenti di tepi jalan yang cukup macet. Sepertinya tak akan bisa dilalui dengan cepat. Sedangkan rancang rencana saya telah matang. Maka, saya pun melongok ponsel sejenak.
Tak berapa lama, menepilah sebuah motor matic di samping mobil kami. Pengendaranya segera saya kenali sebagai driver ojek online yang saya pesan tadi. Saya pun keluar dari mobil dan lekas naik di boncengan. Setelah saling menukar pamit dengan para sepupu, tentunya.
Wah, saya sama sekali tak menyangka. Bisa naik motor keliling Bandung. Sepanjang jalan, mata saya tak jemu melihat sekeliling, disertai senyum yang tak lelah singgah. Pak ojek yang saya lupa namanya itu pun mengajak saya ngobrol dengan sangat bersemangat.
*
Beraneka tanya terlontar dari lelaki paruh baya ini. Dari mana asal saya, sudah di Bandung berapa lama, mengunjungi tempat apa saja, mencicipi kuliner apa saja, yang saya jawab apa adanya. Beragam ekspresi sang bapak atas jawaban saya tak henti gemakan tawa.
"Hah? Dari Jawa Timur? Jauh sekali, Teh! Naik apa ke Bandungnya?"
"Wah, harusnya Teteh ke Lembangnya hari Senin saja. Pas tempat-tempat wisatanya lagi sepi."
"Kenapa di Bandungnya sebentar banget, atuh? Banyak tempat wisata baru lho Teh, di sini."
Begitulah ucap-ucap beliau dengan logat Sundanya yang kental. Setiap melewati restoran, warung, atau bahkan sejumlah sudut jalan, beliau tak henti mempromosikan aneka kuliner dan jajanan yang biasa dijual atau mangkal di situ. Saya hanya mengiyakan sambil tersenyum geli.
*
Tak lama kemudian, sampailah saya di tempat tujuan. Saya memilih turun di halte depan Alun Alun Kota Bandung. Suasana sekitar yang teduh dan cukup sepi menenangkan, sekaligus timbulkan deg-degan. Beberapa kali saya melongok ponsel. Apakah dia yang saya tunggu sudah tiba di sini?
Beberapa saat kemudian, saya dikejutkan oleh sebuah sapaan. Dengan agak takut, saya menoleh ke sumber suara. Serta-merta, melebarlah senyum saya. Lega rasanya. Akhirnya dia datang juga.
Saya sempat kehilangan kata-kata saat menatapnya. Rasanya tak menyangka, akhirnya bisa bertemu langsung. Teringat tahun lalu, saya sempat menghubunginya lewat videocall.
Ternyata gadis ini lebih manis daripada yang terlihat di foto, dengan kacamata dan senyum khasnya.
*
Ayu Liestiani namanya. Kami diperkenalkan lewat lagu-lagu Afgan sejak tahun 2011. Ya, kami adalah penyuka karya-karya Afgan. Kami cukup sering bertukar kabar lewat sejumlah media daring, seperti Whatsapp, Facebook, dan Instagram.
Dulu, tentunya kami banyak mengobrol seputar Afgan, baik lagu-lagu, jadwal konser, hingga kabar terbaru. Kini, meski tak lagi kerap memperbincangkan Afgan, kami masih bertukar kabar seputar keseharian dan keluarga.
Agak berbeda dengan saat ngobrol di media sosial, pada momen ini saya justru bingung harus berkata apa. Rasa canggung dan tak percaya berbaur. Terlebih saat kami memutuskan pindah ngobrol di sisi timur alun-alun. Ada sedikit kekhawatiran di benak saya. Mungkinkah setelah tahu keadaan kaki ini, dia merasa malu berjalan bersisian dengan saya?
Saat kalimat itu terlontar, Ayu buru-buru menggeleng, seraya menukas, "Nggak lah, Mbak. Malu kenapa coba?"
Gaya bicaranya yang khas seketika menguarkan tawa saya.
*
Kami pun memilih duduk di salah satu kursi. Rupanya kecanggungan masih terasa. Saya coba cairkan suasana dengan bertanya kabar dan membuat kelakar. Syukurlah itu berhasil. Ragam cerita lain mulai ditukar. Sama dengan saya, tadi Ayu juga menuju ke sini dengan ojek online. Dia rela mengambil cuti sehari dari tempatnya bekerja demi bertemu saya.
loading...
Tanpa disangka, ia tak tahu. Walaupun dia orang Bandung, ternyata dia cukup jarang main ke kota. Tempat kerjanya pun tak jauh dari rumahnya di Padalarang sana.
Sampai akhirnya saya memesan taksi online, dan kami menuju sebuah tempat makan yang tak jauh dari alun-alun.
*
Dan di sinilah kami sekarang, Warunk Upnormal Braga. Jujur saja, saya baru pertama kali makan di tempat ini. Padahal Warunk Upnormal juga ada di Malang, kan? Hehehe.
Ditemani semangkuk mie goreng kornet keju, semangkuk mie kuah rasa ayam, sepiring nasi, dan dua gelas milo dingin, saya dan Ayu melanjutkan obrolan.
Ternyata, segala tentang Afgan masih cukup mendominasi perbincangan kami. Sepertinya akan selalu begitu, meski sekarang saya jarang mendengarkan lagu-lagunya.
*
Saya pun banyak bertanya pada Ayu seputar kesehariannya, terutama setelah sang ibu wafat akhir tahun lalu. Memasuki bagian ini, senyum ceria Ayu agak memudar. Dia merunut cerita sejak sebelum sang ibu masuk rumah sakit, hingga kemudian wafat. Segala kenangan kebersamaan mereka turut dikisahkan.
Sepanjang Ayu bercerita, saya pun merasakan sesak yang sama. Apalagi saat menatap matanya yang mulai berkaca-kaca. Tapi, seperti yang sudah pernah saya tuliskan sebelumnya, saya tak cukup pintar menghibur seseorang.
Maka, saya hanya bisa berkata, "Tuhan Maha Mengetahui segalanya. Termasuk cobaan yang diberikan pada kita. Mungkin bagi kita, itu berat sekali. Tapi Dia pasti lebih tahu kadar kekuatan kita untuk menghadapinya."
Selanjutnya, saya coba lontarkan beberapa canda sederhana. Untunglah, itu bisa mengembalikan tawanya.
*
Tapi sepertinya, waktu akan terasa berjalan lebih cepat di momen menyenangkan. Begitu pula saat ini. Tak terasa, sudah hampir jam tujuh malam.
Meski berat hati, temu dan bincang ini harus disudahi. Saya pun mengakses aplikasi ojek online lagi. Sembari menunggu, tak disangka, Ayu menyodorkan sebuah bingkisan. Ternyata ada sepasang kaus kaki berwarna coklat, dengan motif kopi-kopi nan lucu.
Senyum saya melebar, seiring ucapan terimakasih. Ojek pesanan saya pun datang. Mau tak mau, kata pamit harus terucap sekarang.
Terimakasih yaa, Ayu Liestiani; untuk telah meluangkan waktu, juga membagi canda dan ceritamu. Salam untuk Bapak dan kakak-kakakmu, semoga selalu sehat. Tetap semangat, ya!
Semoga suatu saat kita bisa bertemu lagi, di Blitar. Oh ya, ada satu lagi bingkisanmu yang pasti takkan saya lupakan. Kaset ini, pastinya. Hehehe.
*
Motor matic itu melaju perlahan, menembus keramaian kota. Sekali lagi saya dibuat terkesima dengan suasana Bandung di malam hari. Senyum pun melebar saat melihat gedung Sarinah, juga tulisan 'Braga' di salah satu sudut. Memang, berkeliling kota dengan motor lebih asyik daripada naik mobil.
Tak lama kemudian, sampailah saya di pelataran Alun-Alun Bandung depan BRI. Di sinilah saya janjian bertemu dengan para sepupu. Saya duduk diantara sejumlah pengemudi ojek online yang sedang mangkal.
Pandangan saya jauh menuju langit hitam yang kosong. Untunglah malam ini tidak hujan. Di sisi kanan, tampak plang gedung PLN dan Bank Mandiri. Di depan saya, jalanan masih padat. Saya tersenyum. Rasanya seperti masih tak percaya, benarkah saya ada di Bandung sekarang?
*
Beberapa menit kemudian, muncullah Mbak Savira, Almira, Levina, Mas Dito, dan Mas Hilmy. Sementara, Mas Daffa akan menyusul nanti. Mas Hilmy langsung menuju parkiran untuk mengambil mobil. Setelah ini, kami akan membeli beberapa oleh-oleh dan makan malam.
Bandung hari ini sungguh menyuguhkan banyak hal menakjubkan. Pertemuan langsung dengan Ayu, yang selama ini hanya terbayang di angan. Bahkan, naik motor keliling Bandung, meski hanya sebentar.
Lalu, seisi pikiran saya mendadak sendu. Tak terasa, besok saya harus meninggalkan Kota Kembang ini. Sesingkat inikah jumpa saya denganmu, Bandung?[]
15 Pebruari 2020
Adinda RD Kinasih
loading...
0 Komentar