Selami
makna yang menyapa kalbu
‘Tuk
selaksa relung tertawan rindu…
Lagu sarat sendu itu
mengalun pelan lewat seutas earphone di
telingaku. Tertawan rindu. Ah, klasik
sekali. Membosankan. Sudah lama aku tak mau lagi mengenal rasa itu, sedikit pun
enggan. Sebab, yang kurindui memang sudah terlalu jauh. Tidak, dia belum pergi.
Dia masih ada, masih sehat dan bahagia. Setidaknya itu yang dikabarkan layar
linimasa lewat aneka coretan pemikirannya.
Bicara tentang rasa,
sesungguhnya aku pun sudah lelah. Tapi sepertinya hati belum jengah. Namanya
masih jelas di ingatan, terukir di kedalaman hati, dan masih lancar dilafalkan.
Minggu lalu ulangtahunnya, dua digit tanggal itu juga masih lekat di pikiran.
Jangan tanya bagaimana
memori merekam segala kenangan tentangnya. Milikku jagonya, meski dia bilang
aku lebih pelupa daripadanya. Tapi, ada cuil-cuil kenang yang masih kusimpan
tanpa ia sangka.
Kata-katanya, nasihatnya, gema tawanya, canda garingnya yang
justru terasa sangat lucu, suara sumbangnya saat bersenandung, gaya andalannya
di depan kamera, dan tentunya suara-suara pikirannya yang terserak dalam
bermacam tulisan.
Entah sudah berapa ratus
hari aku tak menyapanya lewat pesan atau panggilan telepon. Padahal, beberapa tahun
silam, sore hingga malam adalah waktu yang kerap kuhabiskan di telepon untuk berbincang
dengannya. Tentang apa saja. Waktu break bincang
kami hanya ketika adzan berkumandang. Selepas shalat, mari lanjutkan cerita
hingga telinga panas berujung pulsa yang tandas.
Di akhir pekan, aku selalu pergi
pada siang hari, dan baru pulang saat jam sudah merapat ke angka sembilan malam. Orangtuaku
awalnya keberatan, namun lambat-laun memaklumi.
Bagiku, akhir pekan adalah
kesempatan bertukar cerita, sambil menyeruput kopi favorit di kedai langganan.
Jika beruntung, akan ada bonus
untukku, seulas-dua ulas senyumnya, gema tawanya, atau tambahan koleksi fotonya
di galeri ponselku. Oh ya, jangan lupa juga doorprize
satu ini. Duduk di boncengan motornya, dan tiba di rumah dengan selamat.
Ya, meski sudah saling kenal belasan tahun, semua hal itu masih kuanggap
hadiah, saking jarangnya terjadi.
Ah, tapi itu dulu. Sebelum
jarak jadi terasa makin jauh, lalu menyedot habis segala kisah. Hingga bingung
harus membagi cerita apa lagi.
Sebab, aku sudah terlalu
banyak tahu tentangnya. Buku beserta penulis favoritnya, lagu dan musisi
idolanya, segala kisah yang melatarbelakangi semua tulisannya, bahkan cinta
pertama dan para mantan kekasihnya.
Belakangan, dia membocorkan
sebuah rahasia yang tak kusangka-sangka. Aku masih mengingat sore itu, saat ia
melisankannya dengan nada ringan. Nada ringan yang justru menyesakkan dadaku,
lalu berujung tangis tak berkesudahan sepanjang malam.
Tapi, semua yang kutahu
tentangnya tak kunjung membuatku mundur. Tadinya aku berkata lelah, tapi
kemudian jadi tak mau menyerah. Walau kini tak lagi berjuang segigih dulu,
hanya bisa pasrah.
Kurindu
Lebih
baik katakan apa adanya, bila memang rindu
Kurindu
Karena
waktu takkan mampu berpihak
Pada
perasaan yang meragu…
Lagu yang sama masih
mengalun di telinga. Kutandaskan kopi aroma alpukatku perlahan. Sebait refrain itu memaku pikiranku cukup lama.
Kupandangi layar ponsel yang terang, barisan status media sosialnya masih
terbaca jelas di sana. Kucerna lagi maksud kalimat itu beberapa saat. Akhirnya
aku mengerti. Ada sesuatu yang buatku jadi cemas, sekaligus penasaran.
Ada
apa ini? Sejak kapan kamu tinggal sendirian? Apakah setiap hari kamu membeli
makanan di luar? Apakah semuanya bergizi? Bagaimana kesehatanmu? Masih
seringkah kamu menanggang mata hingga dini hari?
Dadaku sesak. Baru kusadari
sudah selama itu kita tak berbincang, pun sekadar bertukar kabar. Sudah lama pula
tak kubaca artikel-artikelnya, padahal aku tahu, dia selalu membaca tulisanku
saat baru diunggah. Minggu lalu, sebuah pesan darinya masuk. Isinya hanya
sedikit saran dan pembenahan pada tulisan yang baru terbit di kanal pribadiku.
Membacanya, suara hatiku
riuh. Tak kusangka ia akan membaca dan masih mau memberi masukan. Sedangkan
aku?
Risalah
asa yang terikat
Yang
membawa sabda rindu
Kan
kutempuh semua perjalanan
Tuk
pulang ke hatimu…
Kuakui, aku hanya sedang
memaksa diri agar terbiasa tanpanya. Hingga aku berpura lupa pada satu rasa
itu. Ya, aku rindu. Aku sedang ditawan rindu. Tapi, saat dihadapkan pada kotak
pesan, aku tak tahu kata mana yang harus diketik sebagai awalan. Atau, bolehkah
kutekan nomornya dan mengajak berbincang? Tapi, prediksiku atas jawabannya
sudah membuatku takut duluan.
'Mau
ngomongin apa?' 'Lewat chatting
saja.' 'Lewat rekaman suara saja.' Atau, 'maaf,
aku sibuk.'
Ya, aku memang banyak berpikir
dan terlalu khawatir. Aku memang rindu. Sangat rindu. Namun, biarlah semuanya
kutitipkan pada Tuhan. Aku percaya, lewat Dia, segala rasa akan tersampaikan. Semoga kamu sehat selalu. Dan, kata hatiku
masih sama, jika kamu ingin tahu.
Mei
2020
Inspired
by song of Glenn Fredly; Sabda Rindu
0 Komentar