Jarum panjang nyaman di delapan. Si pendek merapat ke angka empat. Suara Adhitia Sofyan mengalun bersama petikan gitarnya, lewat sebuah lagu berjudul Across This Milion Stars. Pandangan teralih dari layar ponsel ke jendela. Emasnya mentari sore membias di sana, buat ruangan jadi terang.
Seketika, terpejam sang mata usai sejenak lihat jendela. Nyalanya menyilaukan. Dalam gelap, hadir lagi kilasan panorama itu.
Wajah pagi berkilauan, udara dingin yang menenangkan, rumah mungil yang selalu terasa nyaman. Teringat pada bangku-bangku bulat di teras kecil itu. Terkadang, makhluk berbulu jingga kelabu menyapa di anak tangga. Ia mengeong pelan, meminta jatah makanan.
Pada kilasan berikutnya, panorama kota itu yang muncul. Ramainya, asrinya, rapinya tata kota, taman bunga, gedung tinggi, aneka pertokoan, lezatnya makanan, alun-alun, wahana wisata, juga bermacam sekolah berbagai jenjang yang hebat.
Pada kilasan berikutnya, panorama kota itu yang muncul. Ramainya, asrinya, rapinya tata kota, taman bunga, gedung tinggi, aneka pertokoan, lezatnya makanan, alun-alun, wahana wisata, juga bermacam sekolah berbagai jenjang yang hebat.
Ya, ini masih tentang kota itu. Pembawa riang sejak dulu. Kerap membayangkan, bagaimana warna-warninya jika akhir pekan dihabiskan di sana. Betapa gembiranya jika bisa berdiam di sana lebih lama. Sebab, mendengar namanya saja sudah sarat kenangan, apalagi jika mengelilinginya.
Ternyata benar. Teruslah merangkai doa-doa baik. Tak ada doa baik yang tak dikabulkan. Hanya butuh waktu. Time will tell.
Tak menyangka, mimpi yang dulu terucap asal-asalan itu, kini telah penuh. Kini, pulang ke Kota Kelahiran hampir selalu tiap akhir pekan. Udara dinginnya tak se-menggigil-kan yang terbayang. Justru makin bisa dikawani. Hingga kini, rindu akannya masih mudah datang. Namun sudah lebih mudah terlunasi.
Malang adalah riang.
Menujunya berarti pulang.
Begitu selalu bagi saya.[]
Photograph Tells:
1. Panorama rumah saban pagi
2. Panorama sekitar dari ketinggian di malam hari
0 Komentar