Malioboro hari ini. Bertemu pertama kali dengan wajah barunya yang lebih luas dan leluasa tanpa deretan pedagang kaki lima. Jajaran toko yang menjual berbagai barang dan makanan jadi lebih terlihat. Mulai dari penjual baju, oleh-oleh, aksesoris, hingga sejumlah restoran cepat saji dan kedai kopi.
Jam belum sampai ke angka sebelas, tapi terengah sudah napas. Perlu waktu adaptasi lebih lama bagi sepasang kaki agar tak terlalu cepat menyerah. Maka, segera duduk adalah pilihan. Mama dan Almira pamit berkeliling sebentar. Ya, tak masalah. Mari kembali pada layar ponsel.
Tiba-tiba sebuah sepeda menghampiri. Sebuah panci nampak diikatkan di boncengannya. Sesaat kemudian, seorang ibu berjilbab marun menyapa sembari lemparkan senyum.
"Lumpianya, Mbak. Ada arem-arem juga."
Dua makanan favorit, membuat tawaran itu serasa sulit ditolak. Apalagi saat wanita paruh baya itu menyebut, sepuluh ribu rupiah dapat empat. Rupanya, beliau berencana mudik dan rayakan Idul Adha di Klaten besok, maka niat hari ini mengejar setoran, mungkin.
Sambil menyiapkan dua lumpia dan dua arem-arem, beliau melanjutkan ceritanya. Sejak Subuh, ia telah berada di kawasan ini untuk menjajakan dagangan. Rumahnya berjarak cukup jauh dari Malioboro. Helaan napas terenyuh mengiringi ucap terimakasih. Camilan itu pun berpindah tangan.
Belum sempat mencicipi dua jajanan itu, sebuah skuter mini menghampiri. Separuh kaget, karena ternyata Mama yang mengendarainya, diiringi Almira di belakang. Mama bersama skuter hijau muda, dan Al skuter kuning. Rupanya, mereka menyewanya di sudut dekat Mirota Gallery.
"Tarifnya 50 ribu per jam." Ujar Mama.
Rasanya aneh saat naik ke boncengan skuter ini. Terlalu pendek. Semoga saja tak terjadi apa-apa pada skuter sewaan ini, hehehe. Ketika mulai melaju, mata langsung gembira disuguhi panorama Malioboro yang selalu istimewa.
***
Tak terasa, satu jam berlalu. Si skuter harus segera dipulangkan. Kini, ganti mobil putih itu yang beradu, coba menembus macetnya jalanan Yogyakarta. Diiringi suara khas Adhitia Sofyan yang melagukan sesuatu tentang kota ini.
Dan, di sinilah sekarang. Hmm... pusat perbelanjaan lagi. Seperti biasa, bagi diri, baju dan sepatu bukan sesuatu yang terlalu bisa dipahami. Baju hanya harus nyaman dipakai dan harus warna hitam-abu. Sepatu, harus yang berbahan kuat dilengkapi tali. Ya, itulah yang dimengerti.
Tapi, mari menurut saja, masuk ke sebuah gerai baju ternama. Namun, rupanya kaki menolak ikut berkeliling. Duduk saja di sini, ada kursi pinjaman dari kasir. Akan dapat baju atau tidak, lihat saja nanti.
Entah berapa lama sudah duduk menunggu. Sejak awal, pandangan telah tertuju pada sebuah blus hitam. Mungkin karena sudah cukup lama berkontak mata, lalu turunlah ke hati. Segera cari ukuran yang pas, bayar, dan bawa pulang! Ternyata, beginilah cinta itu. Diawalinya singkat, tapi tetap lekat diingat.
Seperti biasa, kelelahan kaki berdampak pada munculnya dahaga. Segeralah menuju sudut mall, sebuah tempat yang menawarkan aroma menggoda sejak mula. Ragam warna donat aneka rasa di etalase tampak begitu menggiurkan. Tak butuh waktu lama, sekotak donat dan tiga gelas minuman tersaji di meja.
***
Hari mulai sore, saat mobil kembali membelah jalanan. Menuju arah pulang, tapi mampir sejenak di sebuah toko oleh-oleh, demi dapatkan sejumlah buah tangan. Seusainya, kami melaju lagi ke arah Solo. Tapi sepertinya, lelah dan lapar mendera bersamaan. Jadilah, menepi dulu di sebuah rumah makan.
Menjatuhkan pilihan pada seporsi nasi timlo , rasanya tepat. Almira pun memilih yang sama. Sementara hidangan Ayah adalah nasi dan ayam goreng, dan Mama memilih soto sapi.
Duapuluh menit berlalu. Perjalanan pulang berlanjut. Tapi rupanya, kelelahan itu belum sepenuhnya pergi. Muncullah usulan iseng dari kami berdua, bagaimana kalau menginap semalam lagi di Surakarta.
Tak disangka, terkabul juga permintaan itu. Segera, Mama menelepon seseorang, bertanya seputar homestay yang sempat beliau kunjungi dua minggu lalu. Dalam waktu tak terlalu lama, tercapailah sebuah kesepakatan harga dan ruangan.
Hati kegirangan, kantuk jadi tertunda sebentar. Seisi mobil riuh oleh canda tawa kami. Peta digital mengarahkan kami lewat jalanan kecil, agar tak terjebak kemacetan. Di sepanjang jalan itu, ada sejumlah surau yang mengalunkan takbir. Suasana jadi syahdu.
***
Tak terasa, mobil memasuki semacam lorong cukup panjang. Dibatasi tembok putih kusam di kanan kiri, juga terdapat sejumlah remaja yang menduduki kursi di beberapa sudut.
Terpana sejenak, tempat apa ini? Rupanya, ini pintu belakang Dalem Joyokusuman. Kami sempat pula melewati gerbang masuk Benteng Fort Vastenburg. Tak jauh dari Dalem Joyokusuman itulah letak tempat menginap kami.
Seorang wanita paruh baya berambut pendek, bergaya kasual dengan kaos hitam dan celana panjang, menyambut kedatangan kami. Beliau bernama Mbak Nur. Konon, beliau orang asli sekitar, yang bertugas menjaga tempat ini.
Lagi-lagi dibuat takjub saat mengetahui nama rumah wisata ini. Ndalem Kinasih. Nama belakang yang sama dengan yang tersemat pada diri sejak lahir. Sebelum masuk kamar masing-masing, Mbak Nur memberikan 'welcome drink', yakni jamu tradisional yang sudah dikemas dalam botol-botol unik dan siap minum. Tentunya, jamu kunir asam tetap jadi favorit.
Seperti saat menginap di Jogja, di Ndalem Kinasih ini pun kami memesan dua kamar. Begitu masuk ke kamar, suasana nyaman langsung terasa. Kamar ini terdiri dari dua single bed, sebuah cermin besar, meja tulis beserta kursinya, jemuran handuk, tempat sampah, dan tentunya seperangkat pendingin ruangan. Kamar mandi juga berada di dalam.
Malam melarut. Urung tertidur, justru lapar melilit perut. Coba-coba buka aplikasi pesan antar makanan, menemukan sebuah warung tak jauh dari penginapan. Menu nasi goreng dan capcay jadi pilihan kami berempat.
Makin kegirangan saat tak sengaja mengakses streaming Net TV dan menemukan Mas Duta tengah mengalunkan Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki dengan denting piano yang ia mainkan sendiri. Ternyata ini tayangan Konser Spesial Sheila on7. Terkesima sudah sejak kali pertama. Mendadak lupa dengan kelaparan, rasa kantuk, dan nasi goreng di hadapan.
***
Pagi Idul Adha di Surakarta. Semburat jingga raja cahaya indah tergambar di langit, saat kami melintasi jalan setapak menuju pelataran Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Di sanalah shalat Id akan digelar.
Salat Id kali ini cukup ramai. Kami duduk bersebelahan, mendengarkan khutbah yang mengisahkan sejarah Idul Adha dan keutamaan bersedekah.
Selepas salat, kami berjalan keluar dari halaman. Di sisi kanan setelah gerbang, ada gerombolan ibu berjualan nasi liwet, jenang putih, dan beberapa menu sarapan lainnya.
Pilihan langsung jatuh pada nasi liwet. Dilengkapi Susu Nasional yang legendaris itu.
Sampailah di Ndalem Kinasih. Semua baju sudah kembali rapi di dalam koper. Tapi, Almira masuk kamar lagi, agak sakit perut katanya, hahaha. Ayah juga begitu. Sedangkan Mama, menemui Mbak Nur untuk membeli beberapa botol jamu. Maka, mari menunggu sambil menandaskan nasi liwet di bangku depan kamar.
Sebelum mohon diri, tak lengkap rasanya jika belum abadikan banyak gaya di penginapan artistik ini. Tak lupa, kami berfoto bersama Mbak Nur.
Mobil pun kembali berderu, melaju di jalanan Kota Solo yang cukup sepi. Di luar dugaan, memang. Tadinya, perkiraan jalanan akan padat dan macet, tapi ternyata tidak. Mungkin para warga tengah sibuk mengikuti penyembelihan kurban.
Sebelum memasuki kawasan tol, mobil berhenti dulu di sebuah layanan drive thru sebuah restoran cepat saji. Demi pengganjal perut sepanjang perjalanan nanti. Menu muffin ayam menjadi pilihan kami berempat. Tak lupa, es kopi dan es krim khas restoran itu tentu saja.
***
Perjalanan kali ini cukup berkesan bagi diri, meski cukup singkat dan tak terlalu banyak destinasi yang dikunjungi. Sebab, bisa pergi berempat kini adalah sebuah momen langka.
0 Komentar