Aku masih di sini, berkutat dengan laporan dan berjuta-juta uang yang bukan milikku.
Telinga masih jauh dari lagu, hanya ada ragam teriakan tentang jumlah barang, dan panggilan telepon yang bicara aneka orderan.
Tadi sarapanku buru-buru, dan kini menu makan siangku hanya sebungkus kerupuk dari pembeli dan sebotol air putih.
Hampir pukul dua.
Di sela sepinya pembeli, tiba-tiba kuingat lamanmu.
Baru sadar, bahwa sudah cukup lama tak kubaca tulisan-tulisanmu yang jadi alasan pertamaku jatuh cinta.
Ternyata masih sama hingga detik ini. Bahasa lugas dalam kisah-kisah sederhanamu masih mengagumkanku.
Apa kabar kamu?
Cukup lama kita sendirian tanpa banyak pesan yang ditukar. Pesanku beberapa minggu lalu pun hanya kamu beri balasan alakadar. Sudah sejauh itukah kita? Inikah definisi "kamu pergi"? Sebuah kalimat yang sangat kutakuti saat awal rasa ini jatuh. Dan sekarang, tanpa sadar aku sedang menghadapinya.
Ya, kini kamu pergi. Kabarmu hanya bisa kuterka dari kilas-kilas cerita di sosial media. Itu pun tak sering kamu berikan. Lalu, kamu pun tak pernah lagi lihat kilasan ceritaku.
Lengkap sudah. Kamu memang sudah pergi.
Tapi, membuka lagi lamanmu siang ini, membaca beberapa tulisanmu di sana; kurasa kamu kembali. Ya, terimakasih pada tulisan-tulisan itu, pada buah-buah pikiranmu. Berkat semua itulah merindukanmu jadi tak terlalu berat bagiku.[]
0 Komentar