Kumandang Adzan dan Tulisanmu



Panggilan Maghrib terdengar, menimpali alunan lagu up-beat yang penuhi seluruh ruangan. Jam baru menanjak ke pukul enam kurang lima, namun letih tubuh terasa seperti sudah tak tidur dua hari saja.

Kopi hitam pabrikan yang dikemas dalam botol plastik masih terasa berat di genggaman. Sebab minuman terlalu manis itu memang masih terminum seperempat sejak pagi.

Berteman senyap dan senja kelabu, jari-jari kembali menelusuri layar maya. Pada kilasan cerita, namamu terbaca. Kilat penasaran menyengat seisi dadaku, membawa jemari menekan tautan yang tertera.

Laman berisi tulisanmu terpampang di depan mata. Laman yang dahulu kerap kukunjungi; kubaca satu persatu kisahnya, dan kukagumi tak henti-henti.

Hari ini, aku menengoknya lagi setelah sekian lama kuhindari. Hanya kulihat sekilas-kilas, namun setiap judul dan penggalan awalnya masih belum gagal membuatku kagum.

Sejenak, aku dibius kenangan, disapa rindu. Hampir terseret lagi ke masa lalu. Namun, terlalu larut aku takut.

Lekas kututup laman itu, dan mengunci layar ponsel. Layar kembali menampilkan gestur Ello yang sedang menguncir rambut. Wajah tampan berkeringat dan kemeja biru yang membalutnya mampu membuatku tertawan; lagi.

Kuhela napas panjang. Saatnya berlari lagi. Rindu yang sempat menyapa kutinggalkan di belakang. Kenangan kembali ke tempatnya, di sudut paling jauh dan berdebu. Kata 'apa kabar' untukmu pun tak sanggup terkatakan. Hanya tinggal gema yang takkan pernah kamu dengar.

Kuteruskan langkah, meski pelan.

Tentang melupakanmu, aku enggan. Tapi jika rasa ini harus dihentikan, itu yang masih terus kuusahakan.[]

Foto: sebuah ruas jalan di Malang, dipayungi langit senja; beberapa bulan lalu.

Nb. Ternyata, kata-kataku masih selancar ini saat menulis tentangmu. Padahal, untuk menulis novel atau artikel, aku sudah susah payah merangkainya. Tapi, aku takkan berhenti menulis. Seperti apa yang pernah kamu bilang, dulu sekali...







Posting Komentar

0 Komentar